Tanggal 21 Mei 2017 ini adalah 19 tahun yang lalu, dimana sebuah keputusan bersejarah diumumkan. Bertempat di Istana Merdeka, Soeharto menyatakan mundur dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden BJ Habibie. Sejak saat itu, Bapak Pembangunan Indonesia lengser. Ya, peristiwa tersebut adalah puncak dari berbagai macam pergolakan atau demonstrasi yang terjadi selama Mei 1998 bahkan di bulan-bulan dan tahun-tahun sebelumnya. Inisiatornya adalah segenap aktivis pergerakan dan mahasiswa, salah satunya Amien Rais yang kita kenal sebagai Bapak Reformasi. Alasannya hanya satu: perubahan kepemimpinan. Angin segar kepemimpinan berhembus. Itu artinya Indonesia sedang bergerak ke arah yang lebih baik.

Catatan pilu bangsa pada rentang garis waktu 1998 tersebut seharusnya menampar kita untuk membahagiakannya kini. Membahagiakan reformasi dengan berkarya untuk bangsa. Membuktikan bahwa reformasi ini adalah jalan baik Indonesia dalam pentas dunia. Membahagiakan reformasi juga penting dilakukan mulai dalam diri: reformasi diri. Tujuannya agar senantiasa menjadi manusia Indonesia yang lebih baik. Istilah kerennya adalah hijrah.

Sudahkah reformasi menggetarkan sanubari diri? Beranjak dari hal-hal yang berbau tidak baik, melepas jerat jebakan ambisi duniawi, mendenyutkan nafas ukhrawi pada setiap aktivitas kita, dan menjejakkan kembali langkah kaki pada jalan baik. Jalan yang dipayungi rahmat-Nya. Ada pertanyaan, berapa kali panggilan shalat kita abaikan? Lalu malah melanjutkan aktivitas dunia Maya berbungkus gadget atau malah lanjut nonton TV atau ngobrol ngalor-ngidul dengan teman. Bukankah lebih baik tepat waktu dalam beribadah? Lalu ada yang bertanya lagi, berapa kali bolong puasa wajib? Berapa kali bolong shalat wajibnya? Berapa kali zakat tidak dibayarkan? Berapa kali beramal? Dan pertanyaan-pertanyaan sentilan lainnya.

Bisa jadi hal buruk atau musibah kecil yang terkadang menimpa kita adalah buah dari jauhnya kita pada Yang Maha Memberi kehidupan. Bisa jadi harapan dan keinginan yang telah didoakan tidak terkabul, hanya karena karena maksiat yang masih merajalela dalam diri. Artinya kita gagal mengetuk pintu Langit. Mari merenung, membenahi apa-apa yang kurang baik. Senantiasa belajar dan menghargai sebuah kebaikan. Jangan hanya nyinyir melihat si dia yang telah berjilbab besar, lalu dibilang ada ninja perempuan. Atau melihat ustadz yang sedang memberikan kajian keagamaan untuk membangun karakter anak bangsa malah diboikot, dihentikan dengan dalih anti-NKRI, khilafah, dan sebagainya. Mari tabayyun, kemudian kembali belajar ilmu dengan ikhlas. Karena salah satu diterimanya amal adalah ikhlas dan ittiba.

Sampai kapan kekurangbaikan itu akan bersarang dalam diri? Sudah saatnya kita mereformasi diri. Menjadi bagian dari Indonesia yang bernapaskan Pancasila. Ingat sila pertama, ketuhanan Yang Maha Esa. Mari letakkan Tuhan dalam langkah perubahan dalam diri. Menjadi manusia yang konsisten dalam kebaikan. InsyaAllah.

Jika ada yang bertanya kapan baiknya kita mereformasi diri? Kalau kata Aa Gym; mulai sekarang, mulai saat ini, mulai dalam diri. Karena tidak ada yang tahu, kapan kita mati. Jika ada yang bertanya bagimana caranya? Caranya adalah dekati Allah dulu dengan memperbanyak ibadah, lalu datanglah ke majelis ilmu, mengkaji ayat-ayat kehidupan, lalu istighfar serta taubat nasuha jika tetiba kembali ke jalan salah. Selain itu, mari memperhatikan lingkungan (teman) tempat kita menempatkan diri sebagai makhluk sosial. Karena lingkungan memiliki energi besar dalam proses reformasi kebaikan dalam diri.

Tangsel, 21 Mei 2017

Rizal Alfaoji Kusnain | @alfaoji